Ada tiga buah pemandian, antara lain Pemandian Umbul Manten, Pemandian Umbul Ngabean, Pemandian Umbul Dudo. Tersedia Lapangan Tenis 2 band, Arena bermain, Kios cinderamata, pemancingan, dan rumah makan lesehan, rumah makan apung, parkir yang luas
Umbul Pengging yang berada di Desa Dukuh Kecamatan Banyudono Boyolali, menurut berbagai sumber cerita merupakan peninggalan Ki Ageng Pengging ketika zaman peralihan kerajaan Majapahit pada Kerajaan Demak lantas dibangun oleh Keraton Surakarta. Penggunaannya pun dikhususkan untuk Raja dan kerabat kasunanan Surakarta.
Pada dasaranya sejarah berdirinya Pengging terdiri dari beberapa versi dalam suatu versi menceritakan bahwa Pengging pada jaman dahulu dibangun oleh Prabu Kusumawicitra tahun 1026M. Versi lainnya tercantum dalam serat babad yang menceritakan tokoh yang berasal dari Pengging bernama Adipati Andayaningrat yang merupakan raja kecil atau adipati yang menguasai wilayah sebelah selatan dan tenggara kawasan gunung Merapi, akan tetapi akhirnya Handayaningrat gugur dalam pertempuran saat melawan kerajaan Demak.
Ki Ageng Pengging
Handayaningrat memiliki dua orang putra yang bernama Ki Kebo Kanigoro dan Ki Kebo Kenongo hasil perkawinan dengan salah seorang putri raja Majapahit waktu itu. Akan tetapi dari kedua putra itu terdapat berbedaan mengenai keyakinan dalam memeluk agama. Ki Kebo Kanigoro memeluk Budha dan sebaliknya Ki Kebo Kenongo memeluk agama Islam yang lantas dikenal dengan Ki Ageng Pengging setelah mengantikan kedudukan ayahnya.
Ki Ageng Pengging memiliki anak yang nantinya akan menguasai Demak dan menjadi raja Pajang dengan gelar Hadiwijaya. Selama Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memimpin, dikabarkan daerah Pengging dijadikan daerah Keputihan yang dibebaskan dari segala macam pembayaran pajak terhadap pemerintah dan Pengging menjadi salah satu penyiaran agama Islam.
Nama Pengging terus berkibar pada awal abad 18 setelah pusat kerajaan mataram pindah ke Kartasura. Pada saat itu di daerah Pengging terdapat sebuah pesantren yang diasuh oleh Kyai Khalifah Syarif, ia memiliki seorang santri yang bernama Zainal Abidin yang kemudian menikah dengan putrinya. Pada akhirnya Zainal Abidin mengabdi di Keraton Kartasura hingga akhirnya diketahui bahwa ia adalah Padmonagaoro.
Padmonagoro inilah yang menurunkan pujangga besar Keraton Surakarta, Yasadipura I yang handal dalam kesusastraan Jawa, yang ketika meninggal dimakamkan di Ngaliyan Bendan Banyudono (kawasan daerah Pengging) dan hingga saat ini setiap malam Jumat Pahing makamya banyak dikunjungi orang untuk berziarah dan tradisi mandi kungkum di Umbul Sungsang.
Menurut cerita dari warga setempat setiap malam jumat pahing banyak pengunjung yang melakukan laku kungkum atau mandi berendam dengan ketinggian air setinggi leher orang dewasa. Menurut cerita siapa saja yang mampu melakoni laku kungkum di umbul selama 40 hari untuk tujuan dan keinginan tertentu maka apa yang menjadi keinginannya akan terkabul.
Kebanyakan pengunjung yang datang umbul justru dari luar kota Boyolali bahkan tidak hanya orang biasa saja yang melakukan laku kungkum di umbul Sungsang. Menurut cerita dari tokoh masyarakat setempat banyak juga dari kalangan pejabat, artis pelawak serta penyanyi ibukota yang pernah datang menjalani laku kungkum.
Tradisi kungkum belum diketahui secara pasti bagaimana bisa berlaku hingga sampai saat ini bahkan hingga dipercaya mampu memberikan kekuatan untuk mengabulkan permintaan pelaku kungkum seperti yang konon diceritakan banyak orang. Bila ditarik garis sejarah, mungkin saja masih berhubungan dengan laku kungkum yang dilakukan oleh Bagus Burhan atau Ronggowarsito III.
Menurut cerita ketika Bagus Burhan masih kecil ia dikirim oleh ayahnya R.Ng. Yasadipura II atau R.T Sastranegara untuk berguru masalah agama dipondok pesantren ke kawasan Ponorogo yang dipimpin oleh Kyai Imam Besari tetapi justru bukan menuntut ilmu Bagus Burhan malah menyukai perbuatan maskiat seperti judi dan adu ayam.
Singkat cerita melihat kelakuan muridnya Kyai Imam Besari kemudian meminta petunjuk kepada Tuhan hingga akhirnya cara yang dilakukan Kyai Imam selain tetap mengajarinya mengaji Burhan Juga diminta untuk tapa laku kungkum selama 40 hari. Terkait apakah ada korelasi tentang laku kungkum tersebut hingga saat ini belum ada sejarah yang mengungkapnya.
Dalam satu kawasan wisata Umbul Penging terdapat beberapa umbul. 500 meter dari Umbul Pengging terdapat Umbul Sungsang, umbul ini berdampingan dengan Mesjid Ciptamulya. Menurut sejarah Mesjid Ciptamulya didirikan oleh Pakubuwono X yang kemudian diselesaikan pada 1908 M konon mesjid ini merupakan pemindahan jemaah Mesjid Karangduet ke Mesjid Ciptamulya yang menjadi cikal bakal dukuh tersebut disebut Ngaliyan dalam wilayah Desa Bendan Banyudono.
Setelah Raden Ng. Yasadipura I beserta Keturunanya yaitu R.Ng Yasadipuro II (R.Ng. Ronggowarsito I) meninggal dan dimakamkan di belakang Mesjid Ciptamulya lantas kompleks tersebut disebut Astana Luhur yang sering diziarahi Paku Buwono IX maupun X.
Sebagai salah satu bentuk penghormataan terhadap jasa-jasa Trah Yasadipura, Pakubuwono X membangun pessanggrahan Ngeksi Purna di Pengging Boyolali dimana terdiri dari Mesjid Ciptamulya, Kompleks makam Yasadipura dan Umbul Pengging yang saling terkait erat dalam pembentukan masyarakat serta peradaban Boyolali sampai saat ini.