Terbaru - Disclaimer - Privacy Policy - Contact Us - Daftar Isi

Dengan Intuisi, bayi mampu membaca situasi

Bookmark and Share
INTUISI, BAYI MAMPU “MEMBACA” SITUASI. Untuk mencerna situasi di sekelilingnya, bayi lebih banyak menggunakan intuisi. Tingkat kemampuan ini bermacam-macam, ada yang menonjol dan ada yang tidak pada setiap bayi.

Orang tua dulu sering menyarankan, jika ayah pergi dinas ke luar kota dan bayinya ditinggal, maka agar tak rewel ia harus diselimuti baju atau sarung ayahnya. Si ayah pun disarankan membawa baju anaknya. Hal ini, katanya akan membuat bayi tenang. Ayah pun jadi tetap ingat pada anaknya.

Contoh lainnya, saat orang tua meninggalkan bayi ke kantor, perasaan mereka harus tenang, tidak gelisah atau waswas, karena bisa mempengaruhi emosi bayinya. Jika ayah atau ibu gelisah, bayi yang ditinggal mudah rewel, ikut gelisah dan tidak tenang. Mengapa bisa seperti itu? Apakah ini karena intuisi yang dimiliki bayi?


MENERIMA LANGSUNG TANPA INDERA

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, istilah intuisi diartikan sebagai daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Dengan kata lain, intuisi adalah bisikan hati atau gerak hati. “Pengalaman bayi seperti contoh tadi bisa saja dikatakan intuisi sebagai istilah awamnya,” komentar dr. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ, dari Klinik ProreVital, Jakarta.

“Ada bayi yang diberi kemampuan intuisi yang tinggi, ada pula yang biasa saja. Hal itu merupakan variasi. Seperti halnya ada 10 anak yang bisa bermain piano. Namun di antara mereka ada yang kemampuannya melejit atau berbakat sekali, dan ada yang biasa saja, tapi pada umumnya semua bisa main piano.”

Menanggapi fenomena itu, Dra. Retno Pudjiati Azhar, dari Fakultas Psikologi UI mengatakan, “Mungkin intuisi ini lebih sebagai suatu kepekaan yang dimiliki bayi. Kepekaan ini terbentuk karena bayi belum terlalu banyak menyerap informasi yang ia pelajari dari lingkungannya.”

Kepekaan inilah yang menurut Erwin merupakan perwujudan kecerdasan spiritual atau rohani. “Manusia itu, kan, sebetulnya merupakan makhluk rohani yang berjasmani,” katanya. “Sewaktu dilahirkan, jasmaninya baru tumbuh. Otaknya pun belum berkembang sempurna. Jadi, bayi lebih banyak menggunakan kemampuan rohani atau spiritualnya.”

Karena bersifat spiritual, intuisi ini tidak dihasilkan melalui proses seperti yang terjadi pada rangsangan di indra bayi. Bisa dibilang, intuisi ini bekerja untuk melengkapi kerja indra bayi yang belum seluruhnya sempurna karena jumlah serabut saraf pada otaknya juga belum banyak dan belum dilapisi mylen. Di usia satu tahun, barulah perserabutan ini terbilang lengkap, dan menjadi hampir sempurna di usia 5 tahun.

Tidak mengherankan, jika di masa bayi seorang anak lebih banyak menangkap masukan atau pesan tanpa melalui indera. Istilahnya, seperti yang dikatakan Erwin, adalah extra sensory perception (ESP). “Orang awam sering menyebutnya dengan istilah yang sebetulnya kurang tepat, yaitu indera keenam atau mata ketiga.”


SEPERTI HALNYA GELOMBANG RADIO

Itulah mengapa, meski belum pernah mengalami konflik, bayi bisa merasakan ketidakharmonisan kedua orang tuanya. Tidak salah kalau muncul nasihat, bertengkar janganlah di depan anak. Namun sebetulnya, meski bayi ditempatkan di ruang lain dan tak mendengar pertengkaran tersebut, dia tetap akan gelisah. Dia memang tak mendengar pertengkaran orang tuanya, tapi tetap bisa menangkap situasi tak enak yang melingkupinya. Jadi yang bekerja bukanlah indra pendengaran, melainkan extra sensory perception tadi.

Sebetulnya, menurut Retno, secara awam pun bayi atau anak bisa merasakan situasi yang berbeda karena pertengkaran tersebut. Bisa saja meski wajah orang tuanya bermanis-manis, tersenyum ataupun tertawa, tapi sentuhan mereka pada si bayi terasa tegang dan tak santai. Itulah yang membuatnya tampak “paham” dan akibatnya gelisah.

Erwin menambahkan, antara anak dengan orang tua terdapat getaran-getaran gelombang elektromagnetik yang dapat ditangkap sebagai sinyal-sinyal. Dengan begitu, meski orang tua tidak berada di dekat anak, jika terjadi sesuatu pada diri orang tuanya, maka anak dapat merasakan pula. Gelombang elektromagnetik orang tua-anak ini menyebar dan bekerja seperti halnya gelombang elektromagnetik radio yang bisa ditangkap pesawat radio di tempat yang jauh sekalipun.

Menurut Erwin, tak salah kalau ada kebiasaan orang tua yang membawa selembar pakaian anak kala bepergian jauh. Katanya untuk obat penawar rindu. “Cara-cara seperti itu sebetulnya bisa menjadi sarana untuk tetap ada kontak dengan anaknya. Bukan karena di baju itu ada bau si anak atau orang tuanya, tapi karena getaran dari ayah atau anak pada sarana tersebut tetap ada, tidak hilang.”

Kalau anak diselimuti dengan baju atau sarung bapaknya, maka dengan sarana itu anak bisa tetap merasakan keberadaan bapaknya. Begitu pula jika yang pergi adalah ibu. Ini merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang sangat menguntungkan, apalagi karena bayi memang belum bisa bicara. Beruntung kalau dengan jaringan teknologi, jarak itu bisa diperkecil dan komunikasi verbal bisa tetap dilakukan. Misalnya, melalui telepon, sehingga suara orang tua bisa sampai ke telinga anak untuk menambah kedamaian dan rasa tenangnya.

DIASAH DENGAN KASIH SAYANG

Hanya saja menurut Erwin, kemampuan intuisi ini pada setiap anak bisa saja berkurang. “Sebetulnya, kecerdasan rohani ini bisa berkembang bila porsinya seimbang dengan kecerdasan jasmani. Hanya saja seringkali orang lebih memperkembangkan jasmaninya dengan segala macam stimulasi otak. Hal itu memang penting tapi hendaknya tetap seimbang dengan memberdayakan rohaninya.”

Stimulasi terhadap kecerdasan spiritual (SQ), kata Erwin, harus sudah dimulai sejak usia bayi, bahkan mungkin sejak di kandungan. Caranya dengan memberikan kasih sayang atau kasih dan damai yang tulus kepadanya. Setelah bayi tumbuh dan berkembang, lalu ia dapat menggunakan jasmaninya. Saat itu pula ia mulai dikenalkan dengan aturan yang boleh dan yang tidak, yang akan meningkatkan kecerdasan emosinya (EQ). Namun, kasih sayanglah modal awalnya. Bila keterpautan anak dengan orang tua ini berjalan baik, maka perasaan anak dengan keduanya akan selalu lekat.

Anak yang banyak menerima kasih sayang tulus, murni, dan universal nantinya akan mampu membagikan kasih sayang itu kepada orang lain. Sebaliknya, jika orang tua kurang melimpahkan kasih sayang, selain nantinya ia tidak bisa menyayangi orang lain, maka intuisinya juga tumpul. Ia tidak tahu seperti apa rasanya kasih sayang, jadi bagaimana bisa memberikannya kepada orang lain.


ORANG TUA-ANAK SALING BELAJAR

“Komunikasi suara yang mampu dilakukan bayi pertama kali adalah menangis. Apakah itu karena lapar, haus, popoknya basah, gatal digigit serangga, merasa terancam, atau sekadar ingin ditemani. Jika ia menangis, orang tua pun akan mencari tahu penyebabnya dan memberikan respons. Bagaimana respons itu diberikan, sangat berpengaruh pula pada anak,” ungkap Retno.

Bayi terutama sekali belajar dari ketersegeraan respons yang didapatnya dari lingkungan. Jadi, kepekaan itu sebetulnya juga bisa terbentuk berdasarkan goodness of fits atau bagaimana kebutuhannya itu dapat menyatu dengan respons yang diberikan secara tepat.

Lingkungan yang cukup peka akan segera tahu kebutuhan dan keinginan si bayi dan segera memberikan respons yang diinginkan. Bila kebutuhannya selalu segera terpenuhi, anak pun akan terpuaskan. Pengaruhnya kelak, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, dan tak sulit.

Jika bayi kerap menerima respons yang tidak memuaskan, maka besar kemungkinan ia tumbuh menjadi anak dengan pribadi yang sulit. Namun, dampak ini tak harus selalu berlanjut, bila jalinan hubungan orang tua-anak segera diperbaiki.


Materi Pelajaran Terkait: