Baru saja minta dibikinkan susu, si kecil minta diambilkan air. Belum lagi susunya habis diminum, eh, dia sudah minta dibuatkan mi. Selesai? Belum! Masih ada sederet lagi permintaan lain. Sudah begitu, kalau maunya lagi sama ayah, tak ada seorang pun yang boleh menggantikan, termasuk ibu. Kalau digantikan, ngambeklah ia. Apa boleh buat, si ayah harus bolak-balik memenuhi permintaan sang buah hati. Kendati dalam hati kesalnya bukan main. Hingga akhirnya, orang tua pun meledak kala kekesalan sampai di ubun-ubun lantaran merasa seperti diperbudak. Terlebih jika semua permintaan itu diajukan kala orang tua dalam keadaan letih sepulang kerja atau di tengah malam selagi tidur pulas.
Perilaku si kecil yang demikian, menurut Zahrazari Lukita, S.Psi., disebabkan anak usia batita memang tengah gencar “menguji” otorita. Pasalnya, mereka mulai tahu dirinya pun memiliki kekuatan atau pengaruh, sama sepeti orang lain. Nah, dalam kaitan perilaku si kecil yang suka “memperbudak” ini, “ia menganggap dirinya lebih otorita dibanding orang lain, termasuk orang tuanya,” jelas Aya, sapaan akrab pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.
Di sisi lain, anak usia ini juga tengah berada dalam masa peralihan, dari dependen (tergantung) ke independen (mandiri); ia harus dapat melakukan sesuatu yang bisa ditanganinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan demikian, dalam dirinya mulai muncul rasa takut kehilangan sosok yang selalu mendampingi dan menolongnya, entah orang tua ataupun pengasuh. Jadi, di satu sisi ia merasa mampu mandiri, tapi di sisi lain ia takut kehilangan ketergantungannya.
CARI PERHATIAN SI KECIL
Jika saat berperilaku demikian si kecil hanya ingin dilayani ayah atau ibunya saja, menurut Aya, lantaran si kecil menganggap orang yang ia kehendaki adalah orang tuanya bisa memenuhi apa yang ia mau.
Namun bisa juga lantaran ia ingin mendapat perhatian lebih dari ayah/ibu. “Mungkin ia jarang bertemu ayah, misal, hingga ngotot harus ayah yang melakukan semuanya.” Jadi, permintaannya yang berentet bak petasan itu cuma alasan agar ia bisa berinteraksi atau kangen-kangenan dengan si ayah.
Sebaliknya, jika kedekatan emosi si anak dengan ayah/ibu sangat kuat, perilaku tersebut juga bisa muncul. Penyebabnya, tak lain merupakan upaya anak untuk menjaga kedekatan dan ketergantungannya dengan si ayah/ibu. Hal yang sama juga akan dialami pengasuh, bila ikatan emosional si anak dengan pengasuhnya terbilang kuat.
Tak tertutup kemungkinan, perilaku “memperbudak” ini disebabkan si kecil lagi tak sehat. Sementara untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya ia rasakan, kemampuannya masih terbatas.
Jadi, kita jangan buru-buru kesal, ya, Bu-Pak, apalagi sampai merasa diperbudak si kecil. Justru kita mesti jeli mengamati kenapa ia berperilaku demikian.
SULIT BERADAPTASI
Namun, apa pun penyebabnya, tegas Aya, perilaku tersebut tak boleh dibiarkan karena bisa berlanjut sampai ke usia berikutnya. “Bisa-bisa ia main perintah kepada siapa saja.” Tak hanya itu, perilakunya ini pun bisa menetap atau menjadi bagian dari pola kepribadiannya. “Bukan tak mungkin saat dewasa ia merasa ‘paling aku’ dari orang lain.” Lebih celaka bila ia kemudian menjadi pribadi omnipoten alias tak bisa menerima adanya kendali dari luar dalam bermasyarakat.
Dampaknya, “ia sulit beradaptasi dengan situasi dimana ia dikelilingi figur otoritas.” Di sekolah atau di tempat kerja kelak, misal, ia akan selalu mentok karena di tempat-tempat tersebut ia tak bisa berbuat seenaknya seperti di rumah. Tentu pola hidup semacam ini akan sangat membebani bahkan menyiksa anak, hingga menimbulkan kontradiksi dalam dirinya. “Di satu sisi ia harus mematuhi apa yang dikatakan guru atau atasannya, di sisi lain ia ingin tetap menonjolkan otoritanya meskipun mustahil.” Nah, ini akan menyulitkannya menyesuaikan diri.
Jadi, Bu-Pak, si kecil harus segera diluruskan. Ia harus belajar menerima otorita dari luar dirinya. Semakin dini pembelajarannya semakin bagus karena di usia ini anak masih dalam tahap pembentukan, hingga ia pun lebih mudah diarahkan ketimbang anak usia remaja. Selain, ia akan masuk usia prasekolah yang berarti lingkungan sosialnya pun makin berkembang semisal “sekolah”.
BERI PEGERTIAN
Adapun caranya, diberi penjelasan mengenai kondisi faktualnya. Misal, “Bunda mau saja membuatkan mi untuk Adek, tapi sekarang, kan, Adek lagi minum susu. Jadi, habiskan dulu susunya.” Dengan begitu, ia sekaligus belajar bahwa kalau makan harus dihabiskan.
Jika usai minum susu, ia kembali minta dibuatkan mi, katakan, “Adek yakin masih mau makan lagi? Kan, baru saja minum susu segelas. Apa belum kenyang?” Bila ia ngotot, kita perlu bersikap tegas tapi bukan marah, misal, “Tidak, Sayang. Nanti perut Adek enggak muat. Lagian, kalau Adek kekenyangan, Adek bisa sakit perut. Jadi, tunggu dulu sampai Adek benar-benar merasa lapar, ya.” Kemudian langsung alihkan perhatiannya dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang ia sukai.
Bila kita tak mungkin melayani permintaannya yang tiada henti itu lantaran tengah sibuk, si kecil pun harus diberi pengertian. Misal, “Sayang, sekarang Ayah sedang bekerja. Nih, lihat, Ayah lagi mengetik. Toh, tadi Ayah sudah buatkan susu untuk Adek dan mengambilkan minum. Kalau Adek mau kue, kan, masih ada Ibu atau si Mbak yang bisa dimintai tolong. Kalau Adek enggak terus-terusan ganggu Ayah, pekerjaan Ayah bisa cepat selesai, lo. Nanti kita bisa baca buku sama-sama, ya.” Tentu saja, setelah pekerjaan kita usai, janji itu harus ditepati. Kalau tidak, sama saja kita mulai menanam bibit ketidakpercayaan dalam diri anak terhadap kita.
Selanjutnya, kita bisa minta bantuan pasangan atau pengasuh untuk membujuk atau mengalihkan perhatiannya. Buat anak usia batita, cara mengalihkan perhatian cukup jitu, lo. Dalam sekejap, ia sudah lupa dengan keinginannya tadi.
AJARKAN SIKAP SANTUN KEPADA ANAK
Hal lain yang perlu diperhatikan, pada usia awal batita, yaitu 1-2 tahun, si kecil tengah belajar mengekspresikan keinginannya atau kebutuhannya dengan cara yang benar. Hanya, lantaran kemampuannya berbahasa belum lancar, hingga kala ia menginginkan sesuatu atau butuh sesuatu, ngomongnya seperti memerintah. Misal, “Ma, bikin susu.” Atau “Ayah, bacain buku.” dan lainnya.
Untuk itu, si kecil perlu diajarkan bersikap santun. Kita bisa bilang, misal “Adek, kalau minta dibikinin susu, ngomongnya yang manis, dong. Nih, Bunda kasih tahu, ngomongnya begini, ‘Bunda, tolong bikinin susu, dong.’ Nah, sekarang coba Adek ulangi.” Dengan cara ini, kita sekaligus mengajarinya bicara hingga kosa katanya pun bertambah.
Selain itu, kita pun harus mengajarinya untuk melakukan tugas-tugas sederhana yang berkaitan dengan kebutuhannya sendiri, seperti mengambil dan meletakkan sepatu di tempatnya, mengembalikan mainannya ke tempat semula, makan sendiri, dan lainnya.
Bila kita sudah mengajarkan semua itu dan si kecil pun sudah bisa melakukan tugas-tugas sederhana tersebut, tapi ia masih juga kerap menyuruh-nyuruh, terutama di usia 3 tahun, Aya menganjurkan kita agar introspeksi diri. “Bisa jadi perilakunya itu disebabkan meniru orang tuanya. Jangan lupa, anak usia ini sedang dalam tahap modelling atau meniru.”
Jadi, kalau kita terbiasa main perintah sama pembantu, misal, ya, enggak heran bila si kecil pun akhirnya jadi suka memerintah. Paling tidak, tutur Aya, di benak anak akan terpersepsi, “Oh, begitu, ya, kalau ingin sesuatu, tinggal main perintah saja.”
Dalam bahasa lain, kita perlu hati-hati menjaga mulut (juga perilaku) bila tak ingin si kecil meniru yang buruk. Terlebih, pengaruh lingkungan rumah masih sangat kuat buat batita, mengingat kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan di rumah.
Namun dalam memberikan contoh yang baik harus dilakukan konsisten, lo. Jangan hanya saat dilihat anak baru kita melakukannya. Soalnya, jika suatu waktu secara tak sadar kita minta bantuan dengan cara kasar kepada pembantu, misal, dan saat itu ada si kecil, akan berdampak juga pada si kecil.