Terbaru - Disclaimer - Privacy Policy - Contact Us - Daftar Isi

klinik untuk anak hiperaktif

Bookmark and Share
klinik untuk anak hiperaktif. - Banyak orangtua mengeluhkan ulah anaknya yang hiperaktif. Meski sekilas tampak wajar, tapi jika tak segera ditangani, gangguan hiperaktif bisa berakibat fatal.

Anak balita memang senang bergerak. Tapi waspadalah jika si kecil banyak bergerak namun tak sesuai perkembangan usianya. Jangan-jangan ia hiperaktif, yaitu gangguan perilaku pada anak yang timbul di masa kanak-kanak. Pengertian hiperaktif ~ “Hiperaktif adalah gangguan hipergenetik atau gangguan pusat perhatian dengan hiperaktivitas,” terang dr. Dwidjo Saputro, SpKJ, Kepala Klinik Perkembangan dan Bimbingan Anak (KPBA) RS Husada, Jakarta.

Hiperaktif ditandai ketidakmampuan memusatkan perhatian atau konsentrasi, disertai hiperaktivitas dan impulsifitas, yaitu bereaksi terlalu cepat tanpa dipikir lebih dulu. Kondisi ini terjadi pada segala situasi, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial lain.

Kendati tak selalu, hiperaktif sering diikuti kelambatan perkembangan lain seperti lambat bicara. “Hambatan dalam proses pematangan fungsi otak memang jarang mengakibatkan kelainan tunggal. Umumnya, anak jadi tak bisa konsentrasi. Nah, konsentrasi yang buruk menyebabkan anak lambat belajar bicara. Ini terjadi karena informasi yang diterima anak kurang. Tapi itu tak selalu,” papar dr. Dwidjo.

Hiperaktif umumnya juga disertai gangguan perilaku lain. Data menunjukkan, 20-50 persen disertai gangguan menentang. Sekitar 50-70 persen disertai gangguan afektif/perasaan, seperti depresi atau sebaliknya. Sekitar 25 persen disertai gangguan cemas, seperti anak jadi takut sekolah atau takut berpisah dengan orangtua. Selain itu, 15-20 persen disertai kesulitan belajar yang spesifik. Misalnya, kesulitan membaca atau berhitung, meski IQ-nya normal.

Yang lebih buruk, jika anak dibiarkan dan tak ditangani dengan tepat sedini mungkin. Sebab, kondisi ini bisa berlanjut hingga dewasa dan menjadi gangguan kepribadian. Penelitian menunjukkan, banyak anak hiperaktif yang tak dideteksi dan ditangani sejak awal, setelah dewasa menjadi orang-orang yang mengalami gangguan. Antara lain, ketergantungan obat, antisosial, dan sebagainya.

DETEKSI KONSENTRASI
Untuk melayani para pasien kecil, RS Husada yang terletak di Jalan Raya Mangga Besar, Jakarta Pusat, mendirikan Klinik Perkembangan dan Bimbingan Anak (KPBA) pada 21 April 1997. Klinik yang diresmikan November 1997 ini memberi pelayanan mengatasi masalah perkembangan anak dan remaja, yang terjadi sejak bayi hingga akhir usia remaja. Salah satunya, masalah hiperaktif.

Untuk menentukan seorang anak mengalami hiperaktif atau tidak, klinik ini melakukan deteksi awal yang meliputi tingkah laku, komunikasi, sosialisasi, dan akademis. Selain itu, “Ada empat aspek lain lagi yang dilihat pada deteksi awal, yaitu perhatian, hiperaktivitas, kemampuan sosialisasi, dan sikap menentang anak, baik terhadap teman atau orang lain,” jelas Phinehas Ekadiwira, S.Psi. alias Eka, diagnosis di KPBA RS Husada.

Pemeriksaan aspek perhatian dilakukan dengan meminta anak bekerja sendirian serta menyelesaikan tugasnya sesuai waktu yang ditetapkan. “Untuk anak yang belum sekolah, biasanya kita beri permainan seperti puzzle,” ujar Eka. Sementara hiperaktivitas, yaitu mengukur keaktifan anak apakah sesuai-tidak dengan usianya, dan apakah tindakannya melampaui batas serta tanpa perhitungan. Misalnya, jika menggebuk orang, ia langsung gebuk saja. Atau jika memegang barang, ia langsung main lempar,” tambah Eka.

Setelah semuanya terdeteksi, akan diketahui seberapa jauh derajat gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas anak. “Barulah kami menyusun program terapi yang cocok bagi anak. Termasuk bila anak perlu diberi obat,” jelas Eka.

OTAK BELUM CAKAP
Terapi yang diberikan umumnya ditujukan pada gangguan utama yang dialami anak hiperaktif, yakni pada otaknya. “Anak hiperaktif, otaknya belum cakap, karena fungsinya belum matang,” jelas dr. Dwidjo. Jika anak diberi obat yang tepat, 70 persen akan berhasil baik meski tak sempurna. “Kita mengupayakan sampai kemampuan otaknya sudah jauh lebih baik. Sehingga tanpa obat pun, secara perilaku, anak sudah bersikap lebih baik,” papar dr. Dwidjo. Tapi, lama pemakaian obat bukan berarti anak tergantung pada obat. “Obat itu justru untuk menjembatani agar di usia-usia itu anak punya performance yang baik, sehingga kondisi hiperaktifnya tak begitu mengganggu,” jelas dr. Dwidjo.

Selain diobati, perilaku anak juga harus dibimbing melalui terapi perilaku. Bahkan, ujar dr. Dwijo, “Karena hiperaktif juga menyangkut penampilan akademisnya. Bila perlu, anak juga diberikan terapi edukatif.”

Terapi lain yang dilakukan KPBA ialah stimulasi perkembangan, terapi wicara, terapi remedial, fisioterapi, terapi bermain, terapi okupasi, terapi musik, dan psikoterapi. Setiap kali terapi lamanya satu setengah jam dan pasien bisa memilih sendiri waktunya.

Unit Hiperaktif sendiri merupakan salah satu dari lima unit yang ada di KPBA. Keempat unit lainnya ialah unit kesulitan belajar, unit autisma, unit perkembangan, dan unit diagnostik elektrofisiologi & neuropsikologi.

PENANGANAN MENYELURUH

Salah satu karakteristik penanganan di KPBA ialah anak diperlakukan sebagai anak yang sedang tumbuh berkembang dalam bentuk terapi perkembangan. Karena itu, “Di samping menangani kelainan atau gangguan atau hambatan yang khusus tadi, semua keperluan anak untuk bisa berkembang optimal juga dipenuhi,” ujar dr. Dwidjo. Apa pun kelainan perkembangan yang dialami anak, lanjutnya, selain diberi pelatihan untuk bisa mengarahkan perilakunya, kemampuan perkembangan anak yang lain juga distimulasi. “Jadi, penanganannya menyeluruh,” tukas dr. Dwidjo.

Untuk itu, klinik ini menyediakan tenaga-tenaga andal, antara lain empat terapis perkembangan. Mereka ialah perawat yang sudah diberi pelatihan khusus tentang perkembangan anak. Juga ada seorang paedolog, terapis wicara, psikolog, dan tiga psikiater.

Klinik ini juga bekerjasama dengan bagian-bagian lain di RS Husada seperti dokter anak, dokter THT, bagian rehabilitasi medis, dan sebagainya. “Jadi, tim yang ada adalah tim multidisipliner yang bekerja dalam satu kerangka terapi yang terpadu,” ujar dr. Dwidjo.

Selain pada anak, klinik ini juga memberikan pelatihan bagi orangtua yang memiliki anak bermasalah. Melalui program ini, orangtua dilatih untuk dapat mengasuh dan mendidik anak sesuai kebutuhan khusus anak.

BIAYA
Biaya konsultasi, antara Rp 30 ribu – Rp 50 ribu. Sementara pemeriksaan awal, biayanya antara Rp 40 ribu sampai Rp 275 ribu. Untuk terapi, berkisar antara Rp 175 ribu – Rp 450 ribu per bulan, tergantung berapa kali seminggu pasien diterapi. Selain itu, tiap pasien dikenai biaya pembuatan kartu pasien sebesar Rp 4.000. “Tapi tak tertutup kemungkinan untuk membantu mereka yang tak mampu. Tentu semua ada prosedurnya,” kata Eka.

Tiga Terapi Untuk Melatih Konsentrasi
Ada tiga jenis latihan yang dianjurkan dr. Dwidjo Saputro, SpKJ untuk melatih konsentrasi anak hiperaktif, yaitu:

1. Permainan Bola

Buatlah bola sebesar bola tenis atau kasti yang permukaannya kasar. Permukaan kasar ini bertujuan memberi rangsangan. Kemudian minta anak untuk men-drible bola dengan hitungan. Misal, untuk tahap awal, minta anak men-drible bola selama tiga menit. Catat berapa kali ia bisa men-drible bola tanpa mati. Setelah itu, tingkatkan waktunya, misalnya 5 menit, 10 menit, dan seterusnya.

2. Go and No Go Test

Latihan ini bisa menggunakan warna atau huruf. Misal, dengan bola berwarna atau kartu yang telah ditulisi abjad. Sebelum permainan, minta anak bertepuk tangan tiap kali satu bola/kartu ditunjukkan, dan minta agar ia tak bertepuk tangan untuk satu warna/abjad tertentu yang ditunjukkan.

Misal, anak tak boleh bertepuk tangan untuk warna putih atau huruf x yang ditunjukkan. Catat kesalahan anak, misal, apakah anak bertepuk tangan pada saat warna putih atau huruf x ditunjukkan, atau malah tak bertepuk tangan saat warna selain putih atau huruf selain x ditunjukkan. Ulangi latihan ini berkali-kali.

3. Stop-Think-Go

Sebelum melakukan tindakan, minta anak agar diam dulu. Misal, tiap kali melihat sesuatu, minta anak menghitung 10 kali. Setelah 10 hitungan, minta ia memikirkan tindakan terbaik yang akan ia kerjakan. Setelah itu, baru ia diizinkan mengerjakan apa yang telah dipikirkannya.


Materi Pelajaran Terkait: