Terbaru - Disclaimer - Privacy Policy - Contact Us - Daftar Isi

PRIA DAN TANGGUNG JAWAB KESEHATAN REPRODUKSI

Bookmark and Share
PRIA DAN TANGGUNG JAWAB KESEHATAN REPRODUKSI

Apa yang dihasilkan 90 persen dari 27 juta peserta program Keluarga Berencana (KB) yang berjenis kelamin selama lebih dari tiga dasawarsa ini? Jawabnya adalah turunnya total fertilite rate (TFR) hingga 2,78 dari semula yang mencapai 5,6 (1971). Selama masa itu pula, di pundak sebagian besar perempuan Indonesia, terletak tanggung jawab seputar kesehatan reproduksi keluarga. Pertanyaannya , masihkan di era yang mulai mengobarkan semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti saat ini, peran dan tanggung jawab kesehatan reproduksi didominasi kaum perempuan?

Di Indonesia, sangat muskil rasanya jika ingin melihat peran pria dalam kesehatan reproduksi. Jangankan menjalaninya dengan baik, sebagian besar suami di Indonesia, bahkan belum mahfum benar, apa yang disebut dengan istilah kesehatan reproduksi.

Hak reproduksi, adalah hak seseorang untuk mempunyai kehidupan seks yang memuaskan, aman dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah. Dalam konteks terakhir adalah pula hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan punya akses terhadap cara-cara Keluarga Berencana (KB) yang aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima, yang kemudian menjadi pilihan mereka. Pada akhirnya, kesehatan reproduksi yang disadari kedua belah pihak dalam rumah tangga, akan nerujung pada keselamatan wanita saat menjalani kehamilan dan melahirkan anak yang sehat.

Kurangnya kesadaran pria dalam hal kesehatan reproduksi memang tidak terjadi begitu saja. Ujung permasalahn dari semua itu adalah fakrot budaya yang justru ‘memanjakan’suami, dalam artian perempuan adalah ‘pendamping setia’ yang sudah selayaknya bertanggung jawab soal kesehatan reproduksi, sendiri!

Kenyataannya, tidak dilibatkannya suami sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dengan kesehatan reproduksi, justru membuat mereka miskin informasi, yang pada gilirannya merintangi pemenuhan hak reproduksinya. Dalam sebuah penelitian, ditemukan suami-suami yang melarang pemakaian IUD sebagai alat kontrasepsi pilihan istri, beranggapan yakin bahwa IUD atau spiral mengurangi kenikmatan hubungan seksual. Hal lainnya, dari 14 persen isteri yang meminta suami untuk memakai metode kontrasepsi pria, hanya separuh yang bersedia. Pasalnya, vasektomi sering dianggap dapat mengurangi kemampuan seksual, sedangkan kondom membuat hubungan seksual menjadi hambar.

Lebih jauh, petugas kesehatan juga jarang melibatkan suami dalam konsultasi kesehatan, terutama dalam perawatan kehamilan dan kelahiran anak. Mereka merasa cukup berinteraksi hanya dngan istri. Bahkan, dari 50 dokter yang mengirimkan laporan bulanan, kondom hanya ditawarkan kepada 16 persen klien ibu rumah tangga penderita Penyakit Seks Menular (PSM).

Tentu saja, mengacu pada keadaan yang demikian, akan sangat berbahaya jika suami dan pria pada umumnya, kurang menyadari betul hak dan kewajibannya dalam kesehatan reproduksi. Meski demikian, masih banyak suami yang merasa malu membicarakan masalah kesehatan reproduksi atau KB, hanya karena menganggap masalah ini adalah milik perempuan.

Akibatnya, suami kadang merasa tak nyaman untuk mengungkapkan kecemasan mereka seputar kemungkinan komplikasi, transportasi ke rumah sakit atau biaya rumah sakit. Bahkan sebagian besar suami tidak percaya bahwa rasa sakit dan gejala lain yang dialami istri selama masa kehamilan seharusnya mendapat perhatian serius.

Sungguh memprihatinkan memang bila terdapat keadaan di mana selama ini, penderitaan isteri dalam kehamilan dan melahirkan dianggap sebagai suatu yang wajar oleh suami, bahkan oleh isteri sendiri. Akibatnya, tak pernah ada pembicaraan serius tentang keluhan-keluhan yang dialami, yang berakibat pada terlambatnya pertolongan yang dating.

Minim Komunikasi antar pasangan

Tak pelak lagi, kendala yang paling sering menghampiri pasangan dalam rumah tangga adalah soal minimnya komunikasi. Dua probadi yang berbeda, jika disatukan tanpa perekat yang kuat berupa komunikasi yang kuat pula, akan menimbulkan berbagai masalah, termasuk diantaranya ketidaktahuan akan pemenuhan hak dan kewajiban reproduksi yang harus dilakukan suami.

Padahal UU No 10/1992 mensyaratkan tentang kesesuaian suami isteri dalam pengaturan kelahiran dan cara yang dipakai, dengan proses komunikasi yang baik, tentunya. Meski demikian, banyak pasangan yang melewatkan hal itu. Berdasarkan data kesehatan yang ditulis Irwanto dan teman-teman (1997), dari 667 isteri, 2,4 persen diantaranya memilih kontrasepsi tanpa mengikutsertakan suami. Di Sumatera Selatan, misalnya, 65 persen istri memutuskan sendiri kontrasepsi mana yang akan dipakai, sedangkan suami hanya menyetujui atas keputusannya. Hal yang sama terjadi pada 47 persen para isteri di Provinsi Lampung.

Bukan hanya itu, penolakan suami terhadap kontrasepsi yang mau dipakai isteri pun masih ada, yakni 16 persen dari para isteri berusia 15-29 tahun. Yang lainnya adalah 1 persen dari 667 isteri yang ditanyakan, mengaku terpaksa menggunakan alat kontrasepsi yang dipilihkan suami.

Banyaknya fakta yang ada, mungkin bisa membuat kita berkesimpulan bahwa tak ada orang lain yang lebih sering melakukan pelanggaran terhadap hak reproduksi selain diri kita sendiri. Ketidakpedulian dan kelalaian adalah kunci kefatalan tersebut.

Jika banyak pihak konseksuen memegang peranannya masing, masing, seperti suami yang mau terlibat untuk memperhatikan dan menjaga kesehatan reproduksi, berapa banyak nyawa ibu yang terselamatkan? Setidak tidaknya, tujuan mengelaminisir AKI hingga mencapai angka terendah, bisa terwujudkan.


Materi Pelajaran Terkait: