Demikian sekelumit kerangka acuan yang bakal dijalankan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional (BKKBN) ke depan sebagaimana di jelaskan Kepala BKKBN, DR. Sri Seoamrjati Arjoso, SKM, dalam Rapat Kerja Program Keluarga Berenana Nasional (Rakernas KB) yang dilangsukan awal Februari 2004.
Menyimak ke belakang perjalanan KB Nasional memang tak menghapus kenyataan bahwa program ini mampun menurunkan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia. Keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran (TFR) yang cukup bermakna. Pada tahun 1971, aat program KB di awali, angka TFR diperkirakan mencapai 5,6 anak per wanita usia subur. “Saat ini, angkanya telah turun hingga 50 persen yakni mencapai 2,6 anak per wanita usia subur,” kata Soemarjati.
Demikian halnya dengan angka prevalensi pada kurun waktu yang sama bertambah dari 5 persen menjadi 26 persen pada 1980, kemudian 48 persen pada 1987, tahun 1997 mencapai 57 persen hingga saat ini diperkirakan sebesar 60 persen (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia –SDKI- 2002-2003).
Lebih jauh menguak keberadaan program KB Nasional, etrdapat beberapa hal yang harus benar-benar diperhatikan seperti kekuatan, kendala, tantangan serta peluang. Kekuatan yang ada, dikatakan Soemarjati telah menunjukkan keadaan yang lebih menggembirakan seperti telah makin diterimanya p[rogram KB di masyarakat. Hal ini juga didukung srana dan parasaran seperti tenaga penyuluh lapangan dan system pengelolaan KB yang baik hingga ke tingkat akar rumput.
Demikian halnya dengan ddukungan dan komitmen dunia internasional terhadap program KB di Indonesia, merupakan sebuah kekuatan yang dapat diperhitungkan. Sesuai dengan pertemuan di Kairo tahun 1994 (ICPD 1994), program KB dan kesehatan reproduksi pada umumnya merupakan bagian dari kesepakatan global untuk mengatasi berbagai masalah yang dianggap menghambat upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia. “Dukungan tersebuat tidak hanya sekedar gar Indonesia melaksanakan program KB sebagaimana negara lain, tetapi lebih dari itu, program KB Nasional diharapkan tetap menjadi salah satu contoh dari pelaksanaan KB di negara lainnya yangs eang berkembang,” tegas Soemarjati.
Sementara itu, berbagai kendala juga siap menghalangi program KB jika tak segera dipikirkan jalan keluarnya. Sebut saja masalah penyebaran penduduk yang tidak merata (sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa dan Bali), kesenjangan pembangunan antara kawasan Timur dan dan Barat, hingga ancaman terjadinya ledakan penduduk.
Selain itu, terdapat jga kendala yang berputarbpada masalah sumber daya manusia dimana masih terdapat kenyataan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah jika dihiutng secara nasional. Hal ini adalah juga dampak dari masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Demikian halnya dengan pemberdayaan perempuan sebagai tiang utama pembangunan manusia, masih sangat rendah. Yang sangat memprihatinkan adalah masih tingginya angka kematian ibu, bayi serta tingginya angka pernikahan dini di kalangan perempuan Indonesia.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 dan Undang-Undang No 10 tahun 1992 tentang perkambangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, telah diciptakan landasan yang legal dan kaut tentang upaya-upaya keberlangsungan peningkatan kualitas penduduk dan pembangunan keluarga sejahtera.
Hal itu, tentunya menjadi sebuah peluang yang utama bagim pelakanaan program KB dan kependudukan lainnya. “Landasan yang legal dan kuat ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan dan peluang untuk diperjuangkan dalam perumusan GBHN dan Propenas 2005-2009,” ujar Sri Soemarjati.
Sementara itu, perubahan sikap dan perilaku masyarakat tentang struktur dan fungsi keluarga besar ke keluarga kecil merupakan peralihan yang sangat penting dan mendasar. Bagaimana tidak, bila nantinya perubahan tersebut akan melahirkan peluang yang sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas penduduk dan keluarga melalui pendidikan, pengetahuan, status kesehatan serta pendapatan keluarga.
Yang paling penting adalah sikap dan perilaku keluarga kecil ini nantinya dapat juga dimanfaatkan dalam pemberdayaan keluarga khususnya meningkatkan peran dan kedudukan perempuan agar menjadi mitra yang sejajar dengan kaum pria dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial serta budaya.
Peran Serta Pria dalam program KB
Dari sekian banyak sasaran yang akan dicapai oleh program KB dalam jangka panjang demi tercapainya Keluarga Berkualitas 2015, adalah upaya mencapai peningkatan kesertaan pria dalam ber-KB.
Sebelumnya, berdasarkan SDKI 2002-2003, peserta KB Pria di Indonesia hanya berada pada kisaran 1,3 % dari target propenas 2000-2004 yang mencapai angka 8 %. Untuk itu, tahun 2005, peran serta pria ditargetkan kembali menjadi 2,5 %.
Dikatakan Soemarjati, apa yang telah dicapai program KB pria dengan angka 1,3 tersebut tidak bisa dianggap kecil. Pasalnya, mengubah paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran pria demikian besar ketimbang wanita, bukan pekerjaan mudah. Selama ini, wanita sudah demikian wajar untuk berperan serta aktif menjadi pesreta KB, tentunya dengan niat melayani suami dengan sebaik-baiknya.
Untuk itu, sasaran program KB pria, dikatakan Soemarjati, bisa bergantung pada keberadaan data mengenai pasangan usia subur yang ingin ber-KB tetapi belum dapat terpenuhi (unmetneed) yang angka statistiknya diperkirakan mencapai 8,6 % berdasarkan
Pemerintah dalam hal ini BKKBN memang tak main-main dalam meningkatkan peran serta pria dalam ber-KB. Selain masuk dalam daftar sasaran kangka pendek, dalam visi dan misi pencapaian Keluarga Berkualitas 2015 dikmukakan juga tentang peningkatan upaya mewujudkan kesetaran dan keadilan jender dalam pelaksanaan program KB nasional. Hal ini berarti, dalam waktu-waktu ke depan, pasangan suami istri diharapkan memiliki wawasan dan tanggung jawab bersama dalam pemenuhan hak-hak reproduksi, pelayanan KB serta kesehatan reproduksi dan kesejahteraan keluarga.